Rabu, 11 Desember 2013

Kecerdasan emosi, Kinerja Pemimpin, Teori Kepemimpinan




Agar sukses dalam memimpin, ternyata tidak cukup hanya cerdas pikiran saja. Dari pengamatan saya, orang-orang yang karirnya sukses, ternyata bukan orang yang paling cerdas. Ada orang yang demikian pandai, namun begitu ia bicara, ia malah selalu menyerang pendapat orang lain. Ketika selesai berbicara dengan orang itu, energi mereka sering terkuras habis. Karirnya tidaklah berkembang pesat. Sebaliknya, ada orang yang peduli, baik, pandai memperhatikan perasaan orang lain, dan orang inilah yang ternyata karirnya berkembang cepat.
Apakah ada faktor lain selain kepintaran otak tadi? Ada, yaitu kecerdasan emosi. Kepintaran ini adalah kemampuan seseorang dalam memonitor perasaan dan emosinya baik pada dirinya maupun orang lain. Ia akan mampu membedakan dua hal itu, dan kemudian menggunakan informasi itu untuk membimbing pikiran dan tindakannya (Salovey & Mayer, 1990).
Penelitian demi penelitian tentang kecerdasan emosi dipicu oleh karya seminal Goleman di tahun 1989. Secara konsep, kepintaran jenis ini mampu melengkapi pikiran. Sebelum dituangkan oleh Goleman, orang menyangka bahwa faktor kesuksesan dalam bekerja lebih banyak ditentukan oleh pikiran semata.
Melalui pengamatan yang mendalam, kecakapan ini ternyata mampu mendukung kinerja melalui dimensi penilaian diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keahlian sosial.
Penilaian diri yang akurat ini mendorong timbulnya semangat juang, pandangan jauh, mempertinggi tujuan hidup seseorang, dan mampu memberikan arah dan arti dalam kehidupan ini (Sosik & Megerian, 1999).
Pengaturan diri, yang dinamakan dengan pengelolaan keadaan dan impuls internal, akan memicu perasaan positif, dan di saat yang sama dapat menekan perasaan negative (Tesser, 1986).
Dari obrolan orang di kantor hingga berbagai literatur populer, menganggap bahwa kecerdasan emosi ini mempunyai kaitan langsung dengan keunggulan organisasi, komitmen karyawan, dan kepemimpinan transformasional. Adanya janji seperti itu jelas amat menggairahkan para pemimpin bisnis. Namun Murensky (2000), Druskat (2002) hanya menemukan kaitan yang tipis antara kecerdasan jenis ini dan keseluruhan kinerja organisasi.
Hal ini memang mudah dipahami. Mengapa? Karena untuk mengukur kinerja organisasi dibutuhkan lebih banyak alat ukurnya, termasuk kinerja keuangan, kepuasan pelanggan, kepuasan karyawan dan sebagainya.
Apalagi, kecerdasan ini merupakan gabungan dari 27 kompetensi di mana masing-masing kompetensi itu belum pernah diukur tersendiri peranannya dalam meningkatkan kinerja yang unggul.
Goleman pun menyadari hal itu. Ia mampu mendemonstrasikan bahwa kecerdasan emosi ini bisa meningkatkan kinerja, namun perannya itu harus melalui kecakapan emosi. Tapi, kecakapan emosi itu juga tidak berperan sendirian. Kecakapan emosi mampu mempengaruhi kinerja sejalan dengan iklim organisasi dan juga tuntutan kerja yang dianggap moderat oleh karyawan.
Nilai-nilai (values) pribadi seseorang, termasuk kecerdasan emosi, akan menjelma menjadi adaptasi seseorang terhadap lingkungannya. Pada gilirannya, adaptasi ini akan mempengaruhi perilaku seseorang, dan akhirnya akan berpengaruh pada kinerjanya. Tapi, adaptasi dan perilaku seseorang itu amat tergantung kepada kecocokan antara nilai-nilai pribadi orang itu dengan norma-norma organisasi.
Contoh, seorang karyawan yang jujur. Sepanjang hidupnya orang itu berusaha sekuatnya untuk jujur. Ketika ia bekerja di perusahaan yang menghalalkan segala cara, jelas kejujuran itu menemui benturan yang berat. Orang yang memiliki kecerdasan emosi tinggi yang ditandai oleh empati dan kesadaran diri, akan menemukan ekspresi yang pas ketika ia bekerja di perusahaan yang iklim perusahaan memang mendukung nilai-nilai moral.
Ketika kadar kesesuaiannya rendah, yang akan terjadi adalah, mungkin orang itu akan mengubah nilai-nilai yang selama ini dipegangnya. Atau, malah akan terjadi konflik antara dirinya dan perusahaan, atau yang terakhir, ia akan pergi meninggalkan perusahaan itu.
Seperti uraian di atas, Goleman berpendapat bahwa kecerdasan emosi merupakan landasan dari kecakapan emosi, di mana kecakapan emosi ini merupakan penyebab terjadinya peningkatan kinerja. Kecerdasan ini akan mempertinggi potensi karyawan dalam belajar, sedangkan kecakapan emosi akan menjadikan potensi itu menjadi keahlian dalam menjalankan tugas.
Kecerdasan emosi ini, yang merupakan sifat pribadi, hanya menunjukkan bahwa karyawan memiliki kemampuan untuk belajar meningkatkan kompetensinya. Memiliki kemampuan semacam ini baru berarti banyak jika kecerdasan itu sudah diterapkan dalam bentuk keterampilan atau keahlian.
Goleman memberi analogi tentang pelatihan menyanyi. Ada orang yang modal suaranya bagus. Namun jika orang itu tidak memperoleh pelatihan yang memadai untuk menjadi penyanyi, maka orang itu tidak akan pernah menjadi penyanyi terkenal.
Kecerdasan ini jika dipadu dengan kecerdasan sosial lain (termasuk kecakapan emosi) akan mampu membangun hubungan yang harmonis dengan karyawan lain dan mampu menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi di perusahaan.
Apa kesimpulan dari tulisan ini? Kecerdasan emosi ternyata baru berupa semacam bakat alam, walau bisa dipelajari, dan yang penting harus diujudkan dalam kecakapan emosi. Ketika sudah berujud kecakapan emosi, seperti kemampuan untuk tetap termotivasi walau banyak mengalami kegagalan dan penolakan, baru akan terwujud kinerja yang sering didengung-dengungkan oleh para pakar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar